No. Presen :
Nama : Widiawati Kholifa
NIM : 3420190060
Kelas : PMTK B 2019
Matkul : Aswaja II
Tugas
Contoh tradisi yang berlaku di sekitar. Deskripsikan tradisi tersebut, berikut dengan hukumnya.
“Beberapa Tradisi yang Masih dipertahankan di Desa Gajah Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro”
Ada banyak tradisi yang dilakukan oleh warga Desa Gajah, desa yang saya tinggali selama kurang lebih 18 tahun ini. Tradisi-tradisi tersebut saat ini terbagi menjadi 3 kelompok. Yakni, tradisi keislaman, tradisi Jawa tulen, dan tradisi kebarat-baratan (yang sebenarnya tidak termasuk dalam kategori tradisi, karena substansinya yang merujuk pada dunia kesesatan). Adanya kelompok-kelompok tradisi tersebut, tidak terlepas dari adanya pengelompokan warga antar dusun. Seperti warga dusun Nguloh yang masih memegang kepercayaan Jawa tulen. Dan warga Dusun Gajah yang telah mengubah cara pandang dan tradisi-tradisi keJawen menjadi tradisi yang lebih Islami. Juga di Dusun Ndukuan yang sebagian besar penduduknya sudah jauh lebih modern dan cenderung mengikuti tradisi kebarat-baratan. Akan tetapi, yang akan saya bahas di sini adalah mengenai tradisi Jawa tulen dan mitos setempat serta bagaimana hukum Islam memandangnya.
1. Walimatul Hamli (tingkepan)
Kata tingkepan/tingkep berasal dari kereta Bahasa Jawa yakni “Sing dienti-enti wis mathuk jangkep” (yang ditunggu-tunggu sudah hampir sempurna). Waktu pelasaannya adalah ketika sijabang bayi memasuki bulan keempat. Dimana pada bulan keempat ini ruh/nyawa janin sudah diberikan oleh Allah SWT. Sehingga masyarakat Jawa memberikan rasa syukurnya dengan mengadakan slamatan. Slamatan yang diadakan keluarga yang menyambut si jabang bayi ini tidak seperti slamatan-slamatan biasanya. Baik hidangan yang disajikan, sesajen, dan adanya prosesi pemandian antar kedua pasangan yang berbahagia.
Hidangan atau sajian yang dimaksud antara lain:
a. Rujak yang bahannya beraneka ragam buah (bengkoang, nanas, tebu, delima (ganjil), timun, jeruk bali (ganjil), kedongdong, belimbing, cengkir, dan bumbu rujak cur)
b. Buceng/nasi buncu
c. Telur ayam jawa sebanyak tujuh butir direbus dan ditarus di dalam buceng
d. Pasung yang dibungkus daun nangka yang bentuknya kerucut dan ditusuk biting tajam
e. Cengkir (Buah kelapa gading yang masih muda), di gambar tokoh pewayangan
f. Kendi dua berisikan air
g. Dilah dua dinyalakan
h. Layah dua di atasnya diberi rujak
i. Procot
j. Kupat lepet
k. Polo pendem
l. Apem
Sedangkan prosesi yang dilaksanakan
a. Sambil menunggu undangan datang, sang empu hajat mempersiapkan kendi, layah, dilah, cengkir, dan jarik di tengah pintu
b. Membaca surat Maryam dan Surat Yusuf
c. Membaca sholawat Nabi
d. Penggendongan buah cengkir oleh calon Bapak si jabang bayi dengan menggunakan jarik baru
e. Masyarakat memakan hidangan yang disediakan
f. Setelah acara selamatan usai, kedua mempelai dimandikan oleh Ibu dari salah satu mempelai. Dan membawa telur kampung yang diselundupkan ke jarik sang wanita hingga telur itu jatuh
g. Setelah 7 hari dari acara tersebut, sang calon Ibu membuat rujak dari bahan yang tersisa dan dijual ke sanak saudara. Sedangkan cingkir yang sudah tertulisi di taruh dibawah kolong dipan tidur.
Ditinjau dari hukum Islam,
Konteks sodaqoh dalam tradisi ini sangat dijunjung tinggi. Sebagai bentuk rasa syukur atas ditiupkannya ruh kepada si jabang bayi, maka si empu hajat menggelar slametan agar mendapatkan doa kesehatan, keselamatan, dan kelancaran saat proses kelahiran melalui makna filosofis yang terkandung dalam makanan maupun prosesi yang dijalankan.
Konteks shodaqoh telah ini telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits beliau:
“Setiap sesuatu itu ada alat pencucinya, pencuci untuk rumah/tempat tinggal adalah menjamu para tamu”. (H.R. Imam Rafi’i)
“Bersedekah itu bisa menutup tujuh puluh macam pintu keburukan”. (H.R. Imam Thabrani)
“Ulama Syafi’iyah (pengikut madzab Syafi’i) berpendapat : disunatkan membuat makanan dan mengundang orang lain intuk makan-makan, sehubungan dengan datangnya suatu kenikmatan/kegembiraan, baik itu acara teman-teman, khitanan, datang dari berpergian dan lain sebagainya”. (Syaikh Abd. Rahman Al-Juzairi dalam kitabnya ‘al-fiqhu alal madzahibil arba’ah’ juz II hal. 33)
Kesimpulannya, tradisi yang rutin dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat Desa Gajah ini, tidak bertentangan dengan hukum syar’i. akan tetapi, warga yang hendak mengadakan ini sudah barang tentu harus menata hati dengan niatan yang benar dan mempunyai sikap arif dan bijak memilah hidangan makanan yang akan disajikan.
2. Mitos membuang Ayam Kampung saat menikah dan melewati Gunung Pegat
Gunung Pegat adalah sebuah jajaran pegunungan kapur yang membentang dari Desa Puncakwangi melewati Desa Karangkembang, Desa Gajah hingga Desa Gunungsari. Gunung Pegat sendiri berada di selatan Desa Gajah, dan menjadi batas wilayah antara Desa Gajah dengan Desa Sumurragung. Penamaan Gunung Pegat memiliki arti gunung yang di belah atau gunung yang dipisahkan. Pemisahan gunung, terjadi pada saat masa penjajahan untuk dijadikan sebuah jalan perlintasan kereta api yang menghubungkan Babat-Jombang. Pembangunan jalan pada saat itu yang menelan banyak korban, menjadikan sebuah mitos berkembang sedemikian rupa hingga saat ini. Yakni adanya kepercayaan bahwasannya siapapun yang menikah dan melintasi Gunung Pegat tersebut wajib untuk memberikan sesajen berupa beras kuning, bawang merah, bawang putih, telur ayam kampung, dan seekor ayam kampung. Mitos ini berkembang karena pada saat pembangunan jalan tersebut, ada rombongan pengantin yang sedang bahagia dan membawa banyak sekali hidangan makanan, akan tetapi tidak memberi makanan tersebut kepada para pekerja. Sehingga pekerja pada saat itu bersumpah “Siapapun yang melewati Gunung Pegat ini saat ia menikah, maka harus memberikan sesajen dan ayam kampung di Gunung Pegat, jika tidak maka mereka akan pegatan / bercerai”. Maka dari itu, mitos ini masih tetap dipegang erat baik warga local sampai warga dari luar daerah.
Lalu, bagaimana hukum Islam memandang mitos yang telah berkembang ini?. para ulama sepakat, bahwa melempar Ayam dan sesajen di Gunung Pegat saat ada acara mantenan adalah boleh. Karna tidak melanggar syari’at Islam. Meski sebuah kepercayaan, namun warga masyarakat yang melakukan tradisi tersebut tidak bermasalah, karena melempar ayam dan sesajen dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan bahagia atas terselenggaranya pernikahan. Ayam dan sesajen yang ditaruh di Gunung Pegat biasanya diambil oleh masyarakat di sekitar Gunung Pegat. Tidak ada dalil yang menerangkan tentang tradisi ini, akan tetapi oleh ulama setempat disepakati boleh.
3. Tradisi Ruwatan
Kata ruwat mempunyai arti terlepas (bebas) dari nasib buruk yang akan menimpa. Ruwatan atau meruwat berarti upaya manusia untuk membebaskan seseorang yang menurut kepercayaan alam tertimpa nasib buruk, dengan cara melaksanakan suatu upacara dan tata cara tertentu.
Di Desa Gajah sendiri kelompok masyarakat yang masih mempercayai dan masih melakukan tradisi ini hanya ada di Dusun Nguloh, sedang warga desa di dusun lain sudah tidak percaya lagi terhadap tradisi ini. Tradisi ruwatan yang ada di Dusun Nguloh masih menggunakan adat pewayangan dan dalang. Biasanya dilangsungkan pada saat anak menikah, tetapi tidak menuntut kemungkinan tradisi ini dilaksanakan pada saat si anak sedang sunatan (ngruwo).
Seperti yang pernah saya amati, biasanya sang empu hajat menanggap pewayangan satu hari satu malam. Dimulai pada jam satu siang, dalang, sindir serta para penabuh gamelan sudah siap dan melakukan hiburan pewayangan yang bertema Bethoro Kolo dan seorang penyelamat. Para sinder atau penyanyi tembang Jawa di sini hanya memakai pakaian biasa, bahkan beberapa di antaranya mengenakan kerudung.
Pada pukul empat sore, anak yang akan diruwat serta kedua orang tuanya naik ke atas panggung untuk melaksanakan ruwatan. Dalang mengintruksikan untuk membacakan Al-Fatihah 7 x dengan menyisir rambut sang anak. Begitu pula Ibunya. Diteruskan membaca Al Ikhlas, An Nash, Al Falaq, serta Ayat kursi. Pun dengan budhe, bulik, pakdhe, paklik, Mbah dan sanak saudara lain, juga disuruh untuk menyisir rambut si Anak dan membaca surat Al-Fatihah sebanyak 7 kali. Rambut yang rontok dikumpulkan di sebuah nampan yang sebelumnya sudah ada bubur merah, bunga, dll. Dalang masih memainkan lakon bathoro kolo sambil menunggu sanak saudara menyisir rambut sang anak.
Setelah selesai, dalang akan membacakan doa-doa memohon keselamatan berbahasa arab seperti biasanya, dan diberikan doa-doa berbahasa jawa. Setelah selesai, biasanya Loyang yang berisikan sesajen tersebut dibuang di perempatan jalan. Setelahnya hiburan tetap berlanjut sampai jam lima sore. Tepat jam lima sore biasanya hiburan pewayangan akan selesai. Hiburan pewayangan dilanjutkan pukul 09.00 malam sampai pukul 04.00 pagi/subuh.
Tradisi ini hanya dilakukan oleh warga masyarakat Dusun Nguloh, sedang saya bertempat tinggal di Dusun Gajah. Mengenai detail acara, saya hanya mengetahui sedikit tentang hal tersebut.
Lalu, bagaimana hukum Islam memandangnya?. Dalam konteks ini, terjadi suatu akulturasi budaya, yang menghasilkan budaya baru. Budaya Jawa Tulen yang masih menanggap sesajen yang dibuang dan tradisi ke-Islaman yang terdapat dalam doa-doa dan surat-surat yang dibaca.
Dalam memaknai hal ini, para ulama setempat, mengatakan jika tradisi ini boleh dilaksanakan. Karena tidak bertentangan dengan hukum Islam. Jikapun ada, maka hal kontra disini adalah tentang pembuangan sesajen di perempatan jalan dengan kepercayaan yang macam-macam. Hal ini menyalahi anjuran Islam yang tidak boleh membuang-buang makanan. Sedangkan, mengenai doa-doa yang dipanjatkan, semua bernafaskan Islami tidak ada mantra-mantra khusus yang diberi dalang, bahkan sebelum memulai tradisi ruwatan, semua masyarakat yang ada disuruh membaca dua kalimat syahadat. Dan, biasanya sang empu hajat menanggap wayang adalah untuk menghibur masyarakat sekitar yang berniatkan shodaqoh dan berbagi kenikmatan dengan cara melestarikan kebudayaan.
4. Menabur beras kuning, kembang setaman, dan Uang Logam Recehan di depan masjid dan di pemakaman saat ada orang meninggal
Ketika ada salah sorang warga masyarakat Desa Gajah yang meninggal, tradisi yang dilakukan oleh warga di Desa Gajah sangat beragam mulai dari menyalakan dilah ublik di bawah kolong dipan tempat jenazah dibaringkan dan menaruh pisau di atas perut mayat (sebelum dimandikan), menabur beras kuning dan uang logam di perjalanan menuju makam (hanya sebagian warga), hingga pembawaan kembang mayang bagi mereka yang meninggal dalam kondisi perjaka/perawan.
Lalu bagaimana hukum Islam memandang tradisi tersebut?,
Menabur beras kuning di sepanjang jalan tidak diperkenankan oleh agama Islam, karena hal tersebut termasuk dalam kegiatan yang mubadzir. Selain itu, menyalakan dilah ublik di bawah kolong dipan juga termasuk hal yang sia-sia, dan masuk juga dalam kategori hal yang mubadzir.
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros, sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudara syetan, dan syetan itu sangat ingkar kepada Tuhannya” (Q.S. Al-Isra’ 26-27)
Maka bisa kita fahami bahwa tradisi manabur beras kuning, dan menyalakn dilah ublik itu semua termasuk kategori Bid’ah Madzmumah yang haram untuk dilakukan.
5. Nyadran di Sumur Kembar dan Makam Mbah Dandang
Tradisi rutin yang digelar oleh warga masyarakat Dusun Ngoloh setiap tahun adalah mengadakan acara nyadran/selamatan di Sumur kembar yang letaknya di belakang masjid Dusun Banteng, dan Makam keramat Mbah Dandang di persawahan utara Dusun Nguloh. Kedua tempat ini dianggap sacral oleh warga Dusun Nguloh karna kedua sejarah tempat ini yang sangat panjang. sebenarnya tradisi ini sudah berhenti pada saat ada kasus PKI (Pada saat itu, tradisi nyadran masih bersifat keJawen) namun 3 tahun terakhir warga menghidupkan kembali tradisi nyadran/sedekah bumi ini dengan kemasan yang lebih Islami.
Acara di dalamnya tidak jauh-jauh seperti acara selamatan pada umumnya. Seperti, warga dusun yang diperintahkan untuk membaca 3 sampai 5 berkat dalam emberdan diserahkan kepanitia untuk ditaruh pada Makam Mbah Dandang dan Sumur Kembar. Seperti acara selamatan biasa, doa-doa yang dipanjatkan tidak lebih dari dzikir, tahlil, dan doa keselamatan dan bersyukur kepada Allah SWT karena telah memberikan rezeki selama satu tahun. Setelah acara tahlil bersama. Warga yang ikut (biasanya ada yang dari luar desa, ata waga dusun-dusun lain) diberikan berkat dan melaksanakan makan bersama di makam. 3 tahun yang lalu tepat saat pertama kali tradisi nyadran ini dimunculkan, warga masyarakat Dusun Nguloh juga menanggap hiburan pewayangan. Akan tetapi dua atau tiga tahun belakangan ini, acara nyadran hanya dilaksanakan ala kadarnya. Selamatan seperti biasa.
Berbeda dengan warga Dusun Nguloh yang memiliki tradisi nyadran di Makam Keramat Dandang, warga Dusun Gajah, Dusun Sumuralas, dan Dusun Ndukuan memiliki tradisi yang hampir serupa, yakni bersih makam dan Haul Mbah Kyai Adnan (pendiri agama Islam di Desa Gajah).
Acaranya juga satu tahun sekali. Terhitung sudah dua atau tiga kali terselenggarakan. Acarnya biasanya sore bersih makam dan tahlil di makam utama Desa Gajah. Lalu malam hari dilanjut tahlil bersama di masjid Al-Abror Desa Gajah. Para warga diperintah untuk membawa berkat dan hidangan seadanya untuk dibagikan kepada para tamu undangan.
Lalu, bagaimana agama Islam memandangnya kegiatan nyadran atau haul tersebut?. Jika menilik untuk haul kepada almarhum Mbah Kyai sudah barang tentu boleh. Tetapi kalau melihat nyadran di Dusun Nguloh, apakah boleh atau tidak mengingat tempat yang digunakan sebagai tahlil tidak begitu masuk akal dalam konteks ke Islaman. Kita perlu melihat niat dan alasan warga masyarakatnya dulu. Karena penulis bertempat tinggal di Dusun Gajah, penulis tidak tau detail acara dan prosesi nyadrannya seperti apa, niat dan tujuan nadran di sana seperti apa. Tapi, kalau melihat tahlil dan acara yang dimaksudkan adalah sedekah bumi maka sudah barang tentu hal yang boleh dilakukan. Kembali lagi niat yang menjadi penentu tradisi ini boleh dilaksanakan ataupun tidak.
Hanya itu, yang dapat penulis sampaikan apabila ada kekeliruan dalam menanggapi sebuah hukum Islam yang saya tuliskan di sana, wajib bagi kalian yang membaca mengingatkan dan membenahi kekeliruan saya. Apabila ada tulisan yang kurang berkenan saya mohon maaf sebesar-besarnya. Semoga dapat bermanfaat.
Referensi : Makmur, Soelaiman, Amaliyah Keagamaan NU yang Sering Diperselisihkan, Bojonegoro : Pustaka Kawakib, 2018
Ditulis di Desa Gajah, Kec. Baureno, Kab. Bojonegoro
Selesai pada 20.55 WIB 23/03/2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar